Archive for July 2013

         Kring… kring… alarm hp ku berbunyi. Jam menunjukkan pukul 04.30 WIB. Aku segera mematikan alarm HP ku dan kulihat sudah ada pesan masuk dari ke-empat sahabatku, Sasa, Lina, Dyah, dan Lia.
‘Al, Fia hari ini ulang tahun. Nanti jangan lupa buat kejutan ya.. Sepulang sekolah di lapangan.’
‘oke, tentu saja aku tidak akan lupa. ’ Balasku.
Hari ini memang benar ulang tahun Fia yang ke-13. Tanggal 06 September 2010. Aku memandangi bungkusan kado mungil yang sudah kusiapkan untuknya. Kado yang tak terlalu mahal, namun aku harap dia akan menyukainya. Lalu, kumasukkan kado mungil itu ke dalam tasku dengan hati-hati.
Jarum pendek mengarah ke angka 5. Itu artinya aku harus cepat bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Hari ini ada jam tambahan. Dan acara tersebut akan dimulai pukul 06.00 WIB. Jadi, aku harus datang ke sekolah lebih awal.
Sesampainya di sekolah, kulihat Fia belum datang. Jadi, aku bisa menyiapkan rencana kejuatanku untuknya sepulang sekolah nanti bersama teman – teman.

--------
Tet... tet… tet… bel pulang sudah berbunyi, inilah waktu yang sudah kami nantikan.
“Fia, kemari sebentar. Ada yang ingin aku sampaikan padamu.” Ujarku. Diapun mnghampiriku.
“Apa, Al?”
“Pejamkan matamu.”
Lalu, dia mulai memejamkan matanya. Aku pun memasangkan slayer untuk menutupi matanya.
“Hloh, kok mataku ditutup? Ada apa ini? Kayaknya aku punya firasat buruk deh.” Ujarnya cemas.
“Tidak apa-apa, fia. Tak usah khawatir.” Ujar Lina sambil tersenyum nakal.
Kamipun menuntunnya ke lapangan. Sesampainya di sana, kami membuka penutup mata Fia dan menyanyikan lagu Happy Birthday bersama-sama. Setelah itu, Lia datang membawakan kue tart ulang tahun yang sudah kami pesan. Fia terkejut dan tampak sangat senang. Diapun mengucapkan do’a dan meniup lilin-lilin itu. Setelah acara tiup lilin, kami memakan beberapa potong kue tart. Fia tampak terlihat senang. Dan hampir menitikkan air mata.
“Terimakasih banyak kawan, aku bahkan hampir lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Terimakasih.” Ucapnya sambil mengusap air matanya yang hampir jatuh.
“Iya Fia… jangan menangis dong. Masak di hari ulang tahunmu kamu malah menangis.” Ucapku sambil merangkul pundaknya.
“Huu… Fia  cengeng, kalau begitu aku makan saja nih rotinya.” Ujar Lia. Belum sempat Lia mengambil roti itu, Dyah mencoret wajahku, Fia, Sasa dan Lina dengan krim. Kami pun bermain coret-coretan krim. Alhasil wajah kami pun belepotan. Banyak teman-teman dari kelas lain yang melihat kami sambil senyum-senyum sendiri. Tetapi, kami mengacuhkannya. Seakan-akan dunia hanya milik kami ber-enam :D. Permainan dilanjutkan dengan acara gebyur-gebyuran. Wajah Fia yang tadi terlihat bersih, kini tampak seperti adonan kue. Bercampur dengan air, tepung, krim dan telur.
“Hei teman-teman sudah dong.. kalian tidak kasihan apa melihat sahabat sendiri diperlakukan seperti ini… aku nanti pulangnya gimana. Malu.. pokoknya kalian harus tanggung jawab, nganterin aku pulang tanpa dilihat orang. Bagaimana pun caranya! Titik.” Ucap Fia kesal.
“Hahaha.. pinjam jaket tak terlihat punya Harry Potter saja. Simple, kan??” ucapku sambil tertawa.
“Iiih.. kamu ini..” ucap Fia gemas. Sambil menggebyur tepung ke arahku. Namun, aku berhasil menghindar.
Kami pun melanjutkan permainan kami. Sampai pada akhirnya, sesuatu yang sangat buruk terjadi.
“FIA.. ini dia seranganku.!!!” Ucap Sasa bersemangat sambil melemparkan telur ke kepala Fia. Namun, tidak mengenai sasaran dan malah mengenai pelipis mata kanan Fia. Fia pun mengaduh kesakitan.
“AAAWWW!!” jerit Fia meringis menahan sakit, sambil memegangi mata kanannya. Suasana yang tadi begitu ceria dan menyenangkan. Kini, menjadi tegang.
“Ya ampun, Fia.” Sontak kami kaget. Wajah kami langsung pucat.
“Mataku… aku nggak bisa lihat apapun. Bagaimana ini? Aku takut.” Isak Fia.
Langsung terbesit penyesalan mendalam di dalam hati kami. ‘Bagaimana bila Fia tak bisa melihat lagi?’ itulah yang kami pikirkan sekarang.
“Sasa! Cepat telepon ibu Fia!” perintah Dyah, karena hanya Sasa yang membawa hp di antara kami berenam. Belum sempat Sasa mengambil hp, Ibu Fia datang.
“Tante.” Sapaku dengan nafas tersengal-sengal.
“Fia mana, Al??”
Belum sempat aku menjawab, Fia berlari menghampiri ibunya dan menangis.
“Kamu kenapa, Nak? Kok jadi kayak adonan kue begini” Ujar Ibu Fia sambil tertawa.
Sasa pun menjelaskan semuanya pada Ibu Fia. Dan tanpa a i u e o, Fia langsung dibawa ke Eye Center terdekat. Tentu saja, kami juga ikut serta. Karena, bagaimanapun juga kami menjadi tersangka dalam masalah ini. Selama perjalanan, jantung kami berdegup sangat kencang. Rasa sasal, kecewa, cemas, dan khawatir melanda batin kami. Keringat dingin membasahi kulit kami, wajah kami pucat pasi. Bibir kami haya bisa diam membisu. Namun dalam hati, kami tidak henti-hentinya berdo’a.
Sasampainya di Eye Center, mata Fia diperiksa.
“Mata Fia tidak apa-apa. Namun, ada beberapa pecahan telur yang masuk ke mata kanan Fia. Dan sekarang semua sudah bisa diatasi. Mungkin, dalam beberapa saat Fia tak dapat melihat apa-apa. Jadi, mata Fia harus diperban” Kata Dokter menjelaskan.
Kami sontak kaget. Bagaimana bila Fia buta?
“Adik jangan khawatir. Mata Fia akan segera pulih.” Ucap dokter yang sepertinya tahu apa yang kami pikirkan.
Kami pun bisa bernafas lega. Dan tak henti-hentinya kami mengucap syukur Alhamdulillah di dalam hati.
“Baiklah, Terimakasih Dokter.” Ucap ibu Fia dan kami berlima bersamaan. Selama Ibu Fia sedang mengurusi biaya administrasi, kami masuk ke ruang perawatan dan meminta maaf pada Fia.
“Fiaa… maaf banget. Aku ngerasa jadi sahabat paling buruk di dunia.” Ucap Sasa menyesal.
“Aku juga, Fia. Tahu begini, aku tadi nggak usah bawa telur… kami menyesal, Fi. Maaf” ucapku penuh sesal.
“Sudah, tidak apa-apa. Sa, Al, Yah, Lin, Lia. Kalian tetap jadi sahabatku kok. Dan apapun yang terjadi kita akan tetap menjadi sahabat. Kalianlah teman terbaikku.” Ucap Fia sambil tersenyum. Dan kami pun saling berpelukan. Rasa senang dan gembira tadi, kini menjadi terasa mengharukan.
Keesokan harinya, kami menceritakan apa yang terjadi kepada teman-teman sekelas.
“Teman–teman, mohon perhatiannya sebentar. Kemarin, ada kecelakaan yang menimpa Fia. Jadi dimohon memberikan iuran seikhlasnya. Terimakasih.” Ujar Alan selaku ketua kelas kami.
Banyak teman-teman yang menyalahkan kami. Kami mengaku. Kami memang salah. Namun, mau bagaimana lagi? Nasi telah menjadi bubur. Dan rasa sesal itu masih ada. Kami berniat menjenguk Fia sepulang sekolah nanti bersama teman-teman yang lain. Namun, belum sempat kami ke rumahnya. Kami dipanggil guru BK dan terancam dikenai sanksi, yaitu diberi point dan dipanggil orang tua. Namun, hal itu dilarang oleh Ibu Fia. Karena beliau dan Fia sudah memaafkan kami. Tapi, guru BK ku mengatakan bahwa seseorang yang melakukan kesalahan harus tetap diberi hukuman, agar orang itu jera dan tak melakukan hal buruk lagi. Akhirnya, kami tetap diberi point. Namun, orang tua kami tidak jadi dipanggil.
Akhirnya, kami pun menjenguk Fia dengan menaiki mobil milik Ibu Fia. Sebelumnya, kami sudah berusaha menolaknya. Karena kami merasa tidak enak. Kami merasa menjadi beban bagi beliau. Dan kami malu. Tapi, Ibu Fia memaksa dan mengancam akan marah pada kami kalau kami tidak mau ikut dengan beliau. Mau tidak mau kami pun menuruti ajakan beliau.
Sesampainya di rumah Fia, kami langung memeluk Fia dan meminta maaf. Tangis kami pun pecah. Tak lupa, kami juga memberikan hasil iuran dari teman-teman untuk kesembuhan Fia.
“Fia….. Bagaimana mata kanan kamu?  Sudah bisa lihat?” Tanya Lia dengan polosnya.
“Jelas-jelas masih diperban. Bagaimana mau bisa lihat. Hahahaa..” ujar Fia sambil tertawa. Melihat Fia tertawa kami pun tersenyum senang. Namun, rasa sesal sepertinya masih begitu terasa di benak Sasa.
“Sa.. jangan pasang tampang begitu dong. Nggak asyik.” Ujar Fia. Melihat rasa sedih di wajah Fia, aku menyikut tangan Sasa.
“Ah… iya Fi. Maaf. Aku cuma merasa jadi sahabat yang jahat. Seharusnya sahabat itu melindungi sahabatnya bukan malah….” Belum sempat Sasa menyelesaikan kalimatnya, Fia memotongnya.
“Sudah lah Sa. Sudah aku maafkan, justru kalau kamu kayak gitu aku yang nggak enak.” Ucap Fia sambil meraih tangan Sasa.
Satu minggu telah berlalu, dan mata kanan Fia sudah sembuh total. Kami pun mejalani hari-hari kami seperti biasa.
Dari pengalaman ini, kami pun sepakat membuat perjanjian. Apabila ada salah satu diantara kami yang berulang tahun, kami tidak akan membawa telur atau benda keras lainnya. Karena, dari pengalaman ini kami mengerti merayakan ulang tahun tidaklah harus memakai tepung, telur, air, atau semacamnya. Selain mubazir, juga merugikan yang ulang tahun. Yang harusnya bersenang-senang malah jadi kesusahan karena kejutan yang berlebihan. Cukup dengan do’a, kado dan ucapan ulang tahun. Ngerjain sih boleh, asalkan tidak merugikan seperti apa yang kami lakukan ini.

Cerpen : Tragedi Ulang Tahun

Posted by : Alya Starleta
Sunday 14 July 2013
0 Comments

- Copyright © Hikaru's Blog - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -