Archive for May 2018
Perang ternyata tidak selalu dikaitkan dengan senjata maupun bom. Perang kali ini berbeda dengan perang yang ada dalam digma kita. Mungkin bisa dikatakan perang ini adalah perang jaman now heheheee. Yaps, perang ekonomi berupa perang dagang antara dua negara ekonomi raksasa di dunia yakni Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tionghoa. Namun, apakah perang dagang ini juga membutuhkan pemenang? Apakah mungkin ada yang kalah dan ada yang menang? Rasanya sulit. Karena dengan adanya globalisasi tentu perang dagang ini sepertinya hanya akan memberi dampak buruk. Alangkah baiknya bila kedua negara raksasa ini melakukan langkah negosiasi yang tepat agar tidak membahayakan arus ekonomi dunia. Andaikata kedua negara ini adalah dua gajah raksasa yang sedang berperang, haruslah mereka peduli dengan negara-negara lain agar tidak ikut terinjak di tengah peperangan.
Eits,, sebelum ngomongin ngalor ngidul ngetan ngulon. Yuk simak dulu yang dibawah ini, sebenarnya apa sih yang terjadi antara Amerika serikat dan RRT? Kenapa mereka sampai bisa mengibarkan bendera buat perang dagang? Lalu, dengan adanya ini apa dampak dari perang tersebut untuk negara kita? Penasaran? Simak alon-alon yaaa, maklum rodo abot iki materine. Penulis e yo isih sinau alon-alon. ^_^
Sebenarnya apa sih perang dagang itu??
Menurut kamus-international.com perang dagang merupakan praktek dimana negara – negara menciptakan tarif timbal balik atau hambatan yang mirip dengan perdagangan. Sedangkan menurut sumber lainmengatakan bahwa perang dagang adalah “sebuah konflik ekonomi di mana negara memberlakukan pembatasan impor satu sama lain, untuk merugikan perdagangan satu sama lain.” Intinya, perang ini terjadi ketika negara meningkatkan hambatan perdagangan dengan membatasi pergerakan impor satu sama lain.
Bagaimana awal mula Perang dagang AS VS RRT?
Berawal dari kekhawatiran perusahaan-perusahaan di AS mengenai praktik dagang Tiongkok yang tidak adil. Sehingga, pada bulan Agustus 2017 Utusan Perdagangan AS Robert Lighthizer melancarkan penyelidikan atas dugaan pencurian hak cipta intelektual AS di Tiongkok, meliputi paten-paten perangkat lunak, aplikasi telepon seluler, dan teknologi lainnya. Yang kemudian empat tuduhan terhadap Tiongkok yang dilaporkan oleh perusahaan-perusahaan AS, meliputi:
- Perusahaan-perusahaan Tiongkok memaksa mereka menjalin kemitraan, kemudian menduri teknologi dan pada akhirnya memutus kongsi.
- Perusahaan-perusahaan Tiongkok menggunakan dana pemerintah untuk mencuri inovasi dan rahasia teknologi AS
- Tiongkok menggunakan "cyber intrusions" ke dalam jaringan perdagangan AS untuk melakukan sipionase dagang.
- Perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Tiongkok tidak memiliki hak cipta yang sama seperti perusahaan-perusahaan lokal.
Menyikapi hasil penyelidikan tersebut, Donald Trump tidak mau diam dan mengambil tindakan dengan memunculkan tarif impor baru. Pembatasan tarif tersebut meliputi produk baja yang masuk ke AS yang dikenakan tarif sebesar 25%, sedangkan produk alumunium sebesar 10%. Pengenaan tarif baru kepada China dilakukan untuk menghentikan praktik perdagangan yang tidak adil seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Dari Komisi Properti Intelektual Amerika memperkirakan bahwa pencurian kekayaan intelektual yang diakui oleh China, telah merugikan AS antara USD225 miliar hingga USD600 miliar setiap tahun. Pasalnya, beberapa produk original buatan Amerika Serikat telah dicuri idenya oleh China. Coba kalian pikir, perusahaan Amerika yang mencetuskan ide produk itu, telah melakukan segala macam riset dan tes pengembangan untuk menyempurnakan produknya. Yang mana pelaksanaannya membutuhkan biaya riset yang tidak sedikit. Namun, China meniru ide produk buatan mereka. Terlebih, China mematok harga jual yang rendah. Tentu saja Amerika merasa rugi. Info lebih lanjut simak disini guys.
Merespon tindakan Amerika Serikat yang begitu protektif, China membalas dengan mengikuti langkah Amerika Serikat yaitu dengan menaikkan tarif 128 produk impor Amerika Serikat yang masuk ke negaranya mulai dari produk pertanian hingga alat berat sebesar USD 3 Miliar.
Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo menyatakan bahwa apabila perang dagang ini benar-benar terjadi akan membuat anjloknya pertumbuhan ekonomi global dan hanya akan berdampak buruk. Dalam 23 tahun terakhir, ketegangan antara dua negara ekonomi raksasa ini merupakan masalah yang cukup berat untuk ditangani WTO. Masing-masing pihak telah melayangkan laporan kepada WTO, Washington melayangkan gugatan atas pencurian hak paten sedangkan China menetapkan tarif impor untuk 128 produk dari AS. Hal ini membuat WTO berjuang lebih keras agar dapat menyudahi perang dagang ini demi menjaga kestabilan ekonomi global.
Apa dampak dari perang dagang ini?
Dari segi ekspor, Indonesia harus mencari negara lain yang mau menerima ekspor dari Indonesia untuk meningkatkan neraca perdagangan. Karena, bagaimana negara bisa melakukan ekspor jika negara penerima ekspor tidak mau melakukan produksi yang disebabkan adanya pembatasan tarif impor tadi. Akan tetapi itu semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mencari negara lain yang mau menerima ekspor dari kita perlu diadakan negosiasi yang mana proses itu tidaklah cepat. Sedangkan dari segi impor akan ada kemungkinan Indonesia menjadi salah satu negara yang akan dibanjiri produk dari Tiongkok maupun AS. Sehingga, para produsen dalam negeri harus membuat strategi pemasaran yang handal karena mendapat banyak pesaing. Selain itu, hal ini juga memberi dampak pada harga saham di Amerika dan nilai mata uang dollar amerika.
Pencurian hak paten yang dilakukan oleh Tiongkok menyinggung bab etika bisnis internasional. Sudut pandang antara dua pihak yang memiliki budaya berbeda bisa jadi memiliki pandangan etis yang berbeda. Hal ini membuat penulis berpikir, mungkin etika dagang yang dilakukan Tiongkok menurutnya tidak melanggar etika bisnis internasional. Namun, menurut sudut pandang AS, mereka merasa dirugikan dan berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh Tiongkok adalah menyalahi etika.
Selain itu, pembatasan impor yang dilakukan berhubungan dengan teori neomerkantilis yakni menyamakan kekuasaan politik dengan kekuatan ekonomi dan kekuatan ekonomi dengan surplus neraca perdagangan. Para kritikus berpendapat bahwa banyak negara telah mengadopsi strategi neomerkantilis yang dirancang untuk secara bersamaan meningkatkan ekspor dan membatasi impor. Misalnya, kritikus menuduh bahwa China sedang mengejar kebijakan neomerkantilis, dengan sengaja menjaga nilai mata uangnya terhadap dolar AS supaya menjual lebih banyak barang ke Amerika Serikat, dan dengan demikian mengumpulkan surplus perdagangan dan cadangan devisa (Hill, et al. 2014: 189).
Seorang ahli teori ekonomi terkemuka yaitu Paul Samuelson pernah memberikan kritik mengenai kerjasama dua negara yaitu negara kaya (Amerika Serikat) dan negara miskin (RRT). Dimana kerjasama ini terjadi ketika AS mulai mengalihdayakan pekerjaan ke luar negeri (offshore) seperti pendebugan perangkat lunak, pekerjaan akuntansi dan lainnya. Hal ini dilakukan karena AS dapat menghemat biaya upah lebih banyak. Samuelson mengakui akan hal itu. Namun, menurutnya perdagangan bebas ini mungkin dapat membahayakan AS. Pendapat Samuelson ini dibantah oleh beberapa ekonom lain, karena mereka berpikir bahwa negara tersebut (RRT) tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan rakyat dengan cepat. Akan tetapi yang terlihat sekarang sesuai dengan dugaan Samuelson, rakyat China bisa belajar dengan cepat dan meniru produk AS dengan mudah hingga dapat membahayakan ekonomi AS.
Dari fenomena ini dapat disimpulkan bahwa globalisasi, khusunya perdagangan bebas antar negara tidak selalu memiliki dampak baik. Ada juga risiko besar yang harus dihadapi. Sehingga, alangkah baiknya negara harus mengambil sikap yang bijaksana dalam menanggapi hal ini.
Referensi
Hill, C.W.L., et al. 2014. Bisnis Internasional: Perspektif Asia. Buku 1. Jakarta: Salemba Empat.