Posted by : Alya Starleta Monday 8 August 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dan Kentjono dalam Chaer, 1993:32). Dalam definisi tersebut diketahui bahwa fungsi pokok bahasa adalah untuk mengidentifikasi diri dan sebagai alat untuk berkomunikasi.
Bahasa memiliki fungsi untuk mengidentifikasi diri. Hal ini dapat dilihat bahwa setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda. Walaupun terdapat beberapa daerah yang memiliki kesamaan bahasa, namun setiap daerah pasti memiliki ciri khas tersendiri, baik dari intonasi maupun cara pengucapannya.
Bahasa memliki fungsi sebagai alat berkomunikasi. Manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi antara satu sama lain. Dalam berkomunikasi, manusia dituntut untuk tetap menjaga sopan santun dalam menggunakan tata bahasa. Oleh karena itu, manusia harus dapat memilih ragam bahasa yang tepat dalam berkomunikasi.
Ragam bahasa merupakan variasi bahasa menurut pemakaiannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut (Nasucha Yakub, dkk, 2014:14). Diantara macam ragam bahasa adalah ragam bahasa baku, ragam bahasa tidak baku, dan ragam bahasa sosial. Ragam bahasa sosial sendiri memiliki variasi yang dimana setiap daerah memiliki ragam yang berbeda. Ragam bahasa dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat ditemui pada interaksi antara penjual dan pembeli. Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai ragam bahasa yang digunakan oleh pedagang toko kelontong serta meneliti faktor apa yang mempengaruhi pemilihan ragam bahasa tersebut.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1.      Apa ragam bahasa yang digunakan oleh pedagang di toko kelontong “Nur”?
2.      Apa saja faktor yang mempengaruhi pemilihan ragam bahasa pedagang di toko kelontong “Nur”?
C.           Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut
1.      Mengetahui ragam bahasa yang digunakan oleh pedagang di toko kelontong “Nur”.
2.      Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan bahasa pada pedagang di toko kelontong “Nur”.
D.    Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoretis
Hasil penelitian secara teoretis diterapkan dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam bidang bahasa, terkhusus dalam penggunaan ragam bahasa.
2.      Manfaat Praktis
a.         Bagi Mahasiswa
Dengan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar, sehingga dapat menambah wawasan dalam bidang bahasa khususnya ragam bahasa yang digunakan pedagang toko kelontong.
b.        Bagi Penulis lain
Dengan adanya penulisan karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi untuk peneliti lain dalam membuat karya ilmiah dengan tema yang sama.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Ragam Bahasa yang Digunakan Pedagang Toko Kelontong “Nur”
Pada saat terjadi interaksi yang dilakukan antara penjual dan pembeli, terdapat beberapa ragam bahasa yang ditemukan dalam interaksi tersebut. Pada penelitian ini, penulis memperoleh data percakapan yang terjadi antara penjual dan pembeli di toko kelontong “Nur” sebagai berikut
Percakapan 1
Pembeli      : “Nduk, paramex e enek?”
Pedagang 1: “Wonten, Pak. Pinten?”
Pembeli      : “Sak emplek wae. Piro?’
Pedagang 1        : “Kaleh ewu,, Nopo maleh?”
Pembeli      : ”Uwis, kui tok wae. Lha bapakmu ning ndi nduk?”
Pedagang 1        : “Bapak taseh wonten masjid, Pakde.”
Pembeli      : “O yowis,, nuwun yaaa”

Percakapan pertama dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jarak usia yang cukup jauh dan terlihat penjual dan pembeli sudah saling mengenal satu sama lain. Pembeli yang berusia lebih tua membuka percakapan dengan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa ngoko sedangkan pedagang menggunakan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa krama. Hal ini dapat ditemukan pada kalimat “Wonten, Pak. Pinten?”,  “Kaleh ewu,, Nopo maleh?”, dan “Bapak taseh wonten masjid, Pakde.”
Percakapan 2
Pembeli      : “Mbak, bensin...”
Pedagang 1        : “Nggih, pinten?”
Pembeli      : “Satu botol aja mbak. Berapa?”
Pedagang 1        : “Tujuh ribu lima ratus.. Maaf mbak, uangnya yang pas ada?”
Pembeli      : “Coba tak cari dulu, Mbak.... Oohh ada mbak..”
Pedagang 1        : “Makasih, Mbak”

Percakapan kedua dilakukan antara penjual dan pembeli dengan usia yang tidak terlalu jauh. Dari percakapan ini terlihat bahwa penjual dan pembeli tidak saling mengenal. Hal ini dapat dilihat dari gaya pembicaraannya yang kaku dan tidak meluas. Pembeli membuka pembicaran dengan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa, kemudian pedagang menanggapi dengan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa krama yang dapat ditemukan pada kalimat “Nggih, pinten?”. Kemudian pembeli menanggapi dengan menggunakan ragam bahasa Indonesia tidak baku. Karena pembeli menggunakan ragam bahasa Indonesia tidak baku, penjual mengalihkan pemilihan ragam bahasanya dari ragam bahasa sosial ke ragam bahasa Indonesia tidak baku dengan tujuan untuk menyesuaikan bahasanya dengan pembeli. Ragam bahasa Indonesia tidak baku ditemukan pada kalimat “Tujuh ribu lima ratus.. Maaf mbak, uangnya yang pas ada?”, dan “Makasih, Mbak”.
Percakapan 3
Pedagang 1        : “Beli apa Dik??”
Pembeli      : “Ada buku tulis?”
Pedagang 1        : “Ada... Berapa?”
Pembeli      : “Satunya berapa?”
Pedagang 1        : “Dua ribu lima ratus,, ”
Pembeli      : “Beli dua”
Pedagang 1        : “Jadinya lima ribu... Pass ya? Trimakasiih”

Percakapan ketiga dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jarak usia yang cukup jauh. Dari percakapan ini terlihat bahwa penjual dan pembeli tidak saling mengenal. Penjual yang memiliki usia lebih tua membuka percakapan dengan menggunakan ragam bahasa Indonesia tidak baku, dengan kalimat “Beli apa, Dik??”. Kemudian pembeli yang memiliki usia yang jauh lebih muda menanggapi dengan menggunakan ragam bahasa Indonesia tidak baku pula. Pada percakapan ketiga pedagang menggunakan ragam bahasa Indonesia baku dan ragam bahasa Indonesia tidak baku. Ragam bahasa Indonesia baku dapat ditemukan pada kalimat  “Ada... Berapa?”, dan “Dua ribu lima ratus,,”. Sedangkan, ragam bahasa Indonesia tidak baku ditemukan pada kalimat “Beli apa, Dik??”. “Jadinya lima ribu... Pass ya? Trimakasiih.”
Percakapan 4
Pembeli      : “Mbak, Indomie goreng e satu”
Pedagang 2        : “Waduh, entek ki, Mbak. Enek e gari sedap goreng,, rapopo?”
Pembeli      : “Yowes mbak sedap yo rapopo, tuku papat mbak.”
Pedagang 2        : “Sepuluh ribu. Sing godog ora sisan?”
Pembeli      : “Haha ora mbak, lagi pingin sing goreng og mbak.. suwun ya mbak”

Percakapan keempat dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jarak usia yang berdekatan. Dari percakapan ini terlihat bahwa penjual dan pembeli saling mengenal. Hal ini dapat dilihat dari pembicaraannya yang santai dan akrab. Percakapan dimulai oleh pembeli dengan menggunakan ragam bahasa Indonesia tidak baku dengan campuran Jawa yang terlihat pada imbuhan konsonan –e yang diucapkan setelah kata indomie goreng. Kemudian, penjual yang sudah cukup akrab dengan pembeli menanggapi dengan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa ngoko. Hal ini dapat ditemukan pada kalimat “Waduh, entek ki, Mbak. Enek e gari sedap goreng,, rapopo?”, dan “Sepuluh ribu. Sing godog ora sisan?”.


Berdasarkan percakapan 1, percakapan 2, dan percakapan 4 dapat disimpulkan bahwa pemilihan ragam bahasa yang digunakan pada toko kelontong “Nur” dominan menggunakan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa.
B.            Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemilihan Ragam Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pemilihan ragam bahasa diantaranya
1.             Usia
Adanya perbedaan usia mempengaruhi pemilihan ragam bahasa yang digunakan. Hal ini karena adanya pengaruh sosial di dalam masyarakat, terlebih bagi masyarakat Jawa yang memiliki tingkatan unggah-ungguh dalam berbahasa. Apabila lawan bicara lebih tua atau lebih tinggi jabatannya, maka diperlukan penghormatan dalam berbahasa, yaitu dengan menggunakan bahasa krama. Hal ini dapat dilihat pada percakapan pertama dan kedua.
Pada percakapan pertama, penjual menggunakan bahasa krama karena lawan bicara penjual adalah orang yang lebih tua. Sedangkan pada percakapan kedua, penjual menggunakan bahasa Indonesia karena lawan bicara penjual adalah orang yang lebih muda atau anak kecil. Anak kecil biasanya lebih mudah berkomunikasi dengan bahasa indonesia dibandingkan dengan bahasa Jawa. Karena bahasa Jawa terkadang dinilai sulit untuk dipelajari dengan adanya tingkatan unggah-ungguh bahasa seperti bahasa Jawa krama dan bahasa Jawa ngoko.
2.             Tingkat Keakraban
Adanya tingkat keakraban cukup mempengaruhi dalam pemilihan ragam bahasa. Apabila lawan bicara sudah kenal akrab, maka pengucapan dalam berbahasa tidak memerlukan penghormatan dan cenderung santai. Namun, apabila lawan bicara belum lama kenal, maka penggunaan bahasanya masih memerlukan penghormatan dan cenderung kaku. Hal ini dapat dilihat pada percakapan kedua dan keempat. Pada percakapan kedua penjual menggunakan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa krama dan ragam bahasa tidak baku, sehingga terlihat lebih kaku dan singkat. Sedangkan pada percakapan keempat penjual menggunakan ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa ngoko, sehingga percakapan lebih santai dan hidup.
3.             Kebiasaan
Adanya kebiasaan dalam menggunakan bahasa juga mempengaruhi pemilihan ragam bahasa. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat. Orang Jakarta akan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Orang Jawa akan terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tak jarang ditemui orang Jawa saat menggunakan bahasa Indonesia akan terdengar medok. Namun, tak semua orang memiliki kebiasaan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada percakapan pertama, kedua, dan keempat. Terlihat jelas bahwa penjual memiliki kebiasaan berbicara dalam bahasa Jawa.
4.             Penyesuaian Bahasa
Menyesuaikan ragam bahasa dengan lawan bicara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan ragam bahasa. Seperti yang dapat dilihat pada data percakapan kedua. Terlihat adanya pengalihan bahasa dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia setelah penjual mendengar pembeli berbicara dengan bahasa Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan percakapan 1, 2, 3 dan 4  terdapat empat faktor yang mempengaruhi pemilihan ragam bahasa yaitu faktor usia, tingkat keakraban, kebiasaan, dan penyesuaian bahasa.





BAB III
PENUTUP
A.           Simpulan
Dari hasil penelitian ini diperoleh simpulan sebagai berikut
1.      Ragam bahasa yang dominan digunakan oleh pedagang di toko kelontong “Nur” adalah ragam bahasa sosial berupa bahasa Jawa.
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan ragam bahasa yang digunakan oleh pedagang di toko kelontong “Nur” adalah faktor  usia, tingkat keakraban, kebiasaan, dan adanya penyesuaian bahasa antar lawan bicara.
B.            Saran
Dari hasil penelitian ini penulis memberikan saran sebagai berikut
1.      Bagi Mahasiswa
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar, sehingga dapat menambah wawasan dalam bidang bahasa khususnya ragam bahasa yang digunakan pedagang toko kelontong.
2.      Bagi Penulis lain
Diharapkan dengan adanya penulisan karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi untuk peneliti lain dalam membuat karya ilmiah dengan tema yang sama.



DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.1993. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Nasucha, Yakub, dkk. 2014. Bahasa Indonsia Untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Media Perkasa

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Hikaru's Blog - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -