Posted by : Alya Starleta
Thursday, 6 October 2016
Budaya
Jawa merupakan salah satu budaya di Indonesia. Di jaman modern seperti sekarang,
budaya Jawa masih melekat hangat di jiwa masyarakat Jawa. Adanya akulturasi
budaya antara Hindu, Budha dan Islam yang telah dibawa dari negara lain tidak
menghilangkan kebudayaan yang sudah ada karena budaya Jawa memiliki landasan
filsafah dan pandangan hidup yang sangat
kuat juga kokoh sehingga telah melekat
kuat dan mendarah daging dalam diri orang Jawa. Tanpa adanya landasan falsafah
dan pandangan hidup yang kuat budaya Jawa tak akan bertahan hinggga sekarang.
Kini
yang terjadi dalam diri orang Jawa, muncul paham Islam Jawa, Hindu Jawa, Budha
Jawa dan Cina Jawa.[1]
Dari semua paham tersebut, orang Jawa tak mempermasalahkannya selama paham
tersebut masih bisa diterima. Orang Jawa berpikir bahwa semua orang memiliki
pandangan hidup yang hampir sama.
Perpaduan keyakinan antara Hindu, Jawa dan Islam
Jawa telah melahirkan berbagai mitos kejawaan. Dalam karya R. Ng. Ranggawarsita
dalam serat paramayoga tampak bahwa
kisah ajisaka oleh orang jawa dijadikan tonggak orang Jawa. Mitos ini telah
digunakan dalam serat Ajisaka dimana menceritakan sebelum tokoh ini datang ke Jawa,
pulau Jawa telah dihuni dan dipimpin raja raksasa, bernama Dewata Cengkar. Tugas
ajisaka adalah menerangi pulau Jawa. Artinya dia bertugas memberikan ilmu
dengan jalan memusnahkan Dewata Cengkar. Akhirnya mitos Ajisaka semakin populer
dan merambah ke dalam batin orang jawa. Apalagi dalam kisah tersebut terdapat
fakta bahwa Ajisaka lah yang menciptakan dentawiyanjana ( aksara jawa). Lalu
asal mula nama Jawa terdapat dalam kisah Tantu Panggelaran. Nenek moyang orang
Jawa adalah Bathara Siwa. Lalu, Bathara Siwa menemukan sebuah pulau yang banyak
tumbuh tanaman Jamawut (mirip rumput teki), lau diubah namanya menjadi Jawa.[2]
PEMBAHASAN
Kebudayaan
Jawa sebagai subkultural kebudayaan nasional Indonesia, telah mengakar
bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup orang Jawa. Sikap hidup
masyarakat Jawa, memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi
dengan nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama
serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi jiwa seni dan budaya
Jawa.[3]
Pandangan
hidup merupakan hal dasar yang dimiliki seseorang. Pandangan hidup adalah sikap
terhadap kebudayaan, dunia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.[4]
Dan pandangan hidup berkembang seiring berjalannya waktu . Orang Jawa memiliki
pandangan hidup dan pola pikir yang menarik.
Hingga tak sedikit orang-orang manca tertarik dengan pola pikir dan budaya
orang Jawa.
Pola
pikir akan melahirkan falsafah hidup. Falsafah hidup Jawa identik dengan
pandangan hidup Jawa. Istilah pandangan hidup Jawa kurang lebih sama dengan
filsafat Jawa dan paham Jawa. Jadi pola pikir Jawa juga berarti merupakan
endapan pengalaman batin yang dianut orang Jawa. Pengalaman tersebut sangat
mendasar sehingga membentuk paham hidup.
Manakala paham ini ditinggalkan seakan-akan ada hal yang kurang lengkap dalam
hidupnya.[5]
Orang
Jawa memiliki pandangan hidup yang amat religius. Orang Jawa, tulis Neil
Mulder, misalnya memandang dinamika kehidupan mereka adalah bagian dari
pergerakan makrokosmos. Menurut pandangan orang Jawa nasib dan suratan takdir
manusia ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Karena itu, dalam kondisi apapun, baik
ketika kaya atau miskin, orang harus nrimo. Nrimo
ing pandum-menerima nasib, adalah salah satu ajaran filsafat Jawa. Orang
Jawa bilang jangan berharap kepada jabatan atau kekayaan, karena keduanya
merupakan titah dari langit. Karena itu, dalam menghadapi hidup, orang jawa
harus selaras dengan alam. Pandangan hidup seperti ini menghilangkan sikap
rakus dan ambisius yang bisa menimbulkan stress, yang pada gilirannya membuat
orang tidak bahagia.[6]
Budaya
dan pandangan hidup Jawa telah ada dan akan selalu mengalami perubahan dan
pergeseran sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi sejarah telah membuktikan
bahwa perubahan-perubahan itu tidak
sampai mencabut pandangan hidup Jawa dari akar dan sumber kekuatannya.[7]
A.
Filsafat
Jawa
Istilah tentang pandangan hidup
masyarakat Jawa mempergunakan pengertian yang fleksibel sehingga istilah ini dapat diganti
dengan istilah lain yang mempunyai arti kurang lebih sama, seperti “Filsafat
Jawa” atau “Filsafah Kejawen”.[8]
Kata filsafat berasal dari sebuah
kata majemuk dalam bahasa Yunani, philosophia
yang berarti cinta kebijaksanaan sedang orang yang melakukaannya disebut filsuf
yang berasal dari kata Yunani philosopos.
Kedua kata itu sudah lama dipakai orang dari sejarah telah terungkap bahwa
kata-kata itu sudah dipakai oleh filsuf Socrates dan Plato pada abad V sebelum
masehi. Seorang filsuf berarti seorang pecinta kebijaksanaan berarti orang
tersebut telah mencapai status adimanusiawi atau bijaksana. Orang yang bijaksana
disebut juga sebagai jalma sulaksana, waskita ngerti sakdurunge winarah atau
jamalipat seprapat tamat. Bila di barat filsafat diartikan cinta kearifan maka
di Jawa berati cinta kesempurnaan atau ngudi kawicaksanaan. Di barat lebih
ditekankan sebagai hasil renungan dan berarti pengetahuan berbagai bidang yang
dapat memberi petunjuk pelaksanaan sehari-hari. Di dalam kebudayaan Jawa
kesempurnaan berarti mengerti akanawal dan akhir hidup atau wikan sangkan
paran.[9]
Filsafat Jawa telah mengarungi
lautan luas melalui pengaruh-pengaruh budaya nusantara, budaya Hindu-Budha,
budaya islam dan budaya barat modern. Karena pengalaman dan penghayatan manusia
tidak semuanya dapat diuraikan dengan kata-kata, maka sejak dahulu kala telah
dipergunakan kata kias.[10]
Orang
Jawa memang senang mengungkap sesuatu dengan lambang-lambang dan dengan
simbol-simbol. Sehingga mereka yang belum biasa dengan semua itu,bisa salah
paham dalam mengartikannya.
Filsafat Jawa terbentuk karena
perkembangan budaya Jawa asli (animisme-dinamisme) sebagai akibat dari pengaruh
Hindu, Budha dan Islam. Orang-orang India datang ke Indonesia membawa agama
Hindu dan Budha serta orang muslim juga menyebarkan agama Islam serta alam
pikir Islam (Filsafta Islam). Akhirnya kebudayaan Jawa asli filsafat Hindu
Budha serta filsafat Islam melebur menjadi suatu alam pikiran yaitu filsafat Jawa.[11]
Dalam ajaran-ajarannya filsafat Jawa
mengenal konsep-konsep umum yakni: pertama, konsep kesatuan yaitu manusia dan
jagad raya merupakan percikan zat illahi. Orang Jawa biasa menyebut Tuhan
dengan Gusti Allah. Dalam kebatinan Jawa dikenal dengan istilah Manunggaling
Kawula Gusti. Konsep ini tersirat dalam huruf-huruf Jawa atau bisa disebut
aksara Jawa yang ditulis oleh Ajisaka. Aksara Jawa sebenarnya memiliki makna
yang mendalam bagi mereka yang menghayatinya. Kedua, konsep tentang manusia. Manusia terdiri
atas dua segi yaitu lahiriah dan batiniah. Ketiga, konsep mengenai perkembangan
yaitu usaha untuk memulihkan kesatuan yang harmonis dan selaras.[12]
Dengan keanekaragamnya, banyak
sekali filsafat Jawa yang telah ada, salah satu contoh falsafah Jawa antara
lain ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo
dumeh. Maksudnya, jangan terlalu terheran-heran terhadap sesuatu yang baru,
tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh
sombong dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin. Intinya, falsafah ini
mengajarkan menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
[13]
Falsafah sebagai seorang anak buah
pun ada dalam ajaran Jawa, hal ini terbentuk agar seorang bawahan dapat tepo
sliro dengan pimpinan dan tidak mengandalkan ego, seperti yang digambarkan
dalam falsafah Jawa, keno cepet ning aja
ndhisiki, keno pinter ning aja ngguroni, keno takon ning aja ngrusuhi.
Maksudnya, boleh cepat tetapi jangan mendahului, boleh pintar tetapi jangan
menggurui, boleh bertanya tetapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang
anak buah jangan melakukan sesuatu yang dapat mempermalukan pemimpinnya,
walaupun dia mungkin lebih mampu dari sang pemimpin.[14]
Adapun filsafat ha-na-ca-ra-ka yang diungkapkan Paku
Buwana IX adalah sebagai berikut[15];
1. Ha-Na-Ca-Ra-Ka
berarti ada utusan, yakni utusan hidup, beupa napas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Maksudnya, ada yang mempercayakan, ada
yang dipercaya, dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur tersebut
adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia.
2. Da-Ta-Sa-Wa-La,
berarti manusia diciptakan sampai dengan saatnya dipanggil tidak boleh mengelak
manusia harus bisa menerima dan menjalankan kehedak Tuhan.
3. Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
berarti menyatunya zat pemberi hidup dengan segala atributnya harus bersedia
melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
4. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan.
Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada gadis kodrat meskipun manusia
diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk mengulanginya.
Dalam ungkapan “crah agawe bubrah – rukun agawe santoso”, menghendaki keserasian
dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan
halus yang mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari misalnya :[16]
1. ”Ojo
dumeh”, merasa dirinya lebih.
2. ”Mulat
sariro, hangrasa wani”, mawas diri, intropeksi diri.
3. “Mikul
duwur,mendem jero”, menghargai dan menghormati serta menyimpan rahasia orang
lain.
4. ”Ajining
diri saka obahe lathi”, harga diri tergantung ucapannya.
5. “Mulat
sariro” suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasan
orang lain, serta “aja dumeh” adalah peringatan kepada kita bahwa jangan
takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri.
Meskipun cakupan falsafah Jawa atau
Kejawen sedemikian luas meliputi seluruhaspek kehidupan, ada beberapa pokok
pandangan Jawa yang bisa dijadikan wacana dialog peradaban dan budaya. Pandangan
atau konsep dasar falsafah Jawa meliputi adanya Tuhan, jagat raya, asal-usul
manusia, mitologi jawa, tata peradaban dan laku budaya, tata penanggalan dan
basa atau carakan Jawa.[17]
B.
Masyarakat
Jawa dalam Tinjauan Antropologis
Antropologi merupakan salah satu
ilmu yang mempelajari manusia dari sudut cara berpikir dan pola berperilaku.
Cara berperilaku dan cara berpikir orang Jawa sangat menarik dan memiliki ciri
khas tersendiri. Orang Jawa terkenal dalam sikapnya yang menjunjung tinggi
unggah-ungguh atau nilai kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya
dalam budaya Jawa ada yang disebut andhap
ashor
yaitu
rendah hati, tepo sliro yaitu sikap
dimana dapat memahami orang lain dan ewuh
pekewuh yaitu sikap tidak enak pada orang lain, sehingga lebih berhati-hati
dalam bersikap. Ketiga contoh perilaku tersebut sangat terkenal dan diakui oleh
masyarakat luar Jawa.
Dalam pandangan Mulder cara
berpikir orang Jawa merupakan suatu perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala
dan pengalaman agar menjadi jelas. Olah pikir dan asah budi orang Jawa senantiasa
mendambakan keselamatan dan kesejahteraan.[18]
Dari aspek antropologis orang jawa
memang telah lama ada setelah ribuan tahun lalu, ditemukan fosil-fosil di
sekitar bengawan solo, Jawa Tengah. Fosil yang tertua disebut Pithecantropus
erectus dan fosil yang termuda dalah homo soloensis. Karena fosil ini ditemukan
di wilayah Jawa tengah, dapat diduga bahwa provinsi ini yang menjadi nenek
moyang orang Jawa. Wilayah ini menjadi cikal bakal orang Jawa. Hal ini dapat
dipahami, karena dari aspek bahasa dan budaya pun Jawa Tengah dan sekitarnya, yang menjadi sumber
utamanya.[19]
Alam pikiran orang Jawa merumuskan
kehidupan manusia dalam dua kosmos (dunia) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandagan hidup terhadap
alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal
yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup
terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan
keselarasan dan keseimbangan antara kehidupan mikrokosmos dan makrokosmos.
Sikap dan pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada
kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata
kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata.[20]
Masyarakat Jawa memiliki jiwa
religius yang kuat. Meskipun, cara beragama orang Jawa lentur, terbuka dan
tidak fanatik. Mereka tidak berpijak pada satu agama dan masih menganut agama
kejawen yang telah ada.
Pergumulan orang Jawa dengan
agamanya yang serba lentur dan terbuka, mengakibatkan sejumlah tata cara hidupp
yang semuanya dianggap bermuatan spiritualisme. Dari satu sisi, perilaku orang
Jawa percayapadapetungan, hari baik buruk, dan sejumlah keyakinan lainnya,
lebih banyak berbau takhayul dan gugon tuhon dibanding yang bisa dipahami
secara rasional.[21]
Bagi orang Jawa, menjalani
kehidupan sehari-hari sudah merupakan bagian dari agama. Y.B. Mangunwijaya
(1988:13) dengan jelas menyatakan bahwa semua yang diyakini, dilakukan dan
dibenarkan oleh orang Jawa dalam kehidupan sehari-hari mengandung nilai-nilai
yang sarat semangat spiritualisme.[22]
Orang Jawa, bagaimanapun kondisinya pada dasarnya memiliki cita rasa, sikap dan
tindakan yang religius.[23]
Salah satu contoh tindakan yang
religius tersebut adalah orang Jawa berpendapat bahwa manusia wajib berikhtiar,
maksudnya dalam segala hal harus berusaha sakadarira
(semampunya). Manusia hanya wajib berusaha, ketentuan di tangan Tuhan. Ikhtiar
dalam istilah Jawa dinamakan kupiya (usaha) secara lahir dan batin. Kupiya
tersebut mengimplikasikan bahwa hidup perlu dijalani sewajarnya.[24]
Pada dasarnya, masyarakat Islam Jawa
terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kepercayaan dan amal agamanya.
Beberapa ahli mencoba merumuskan pembagian kelompok masyarakat Islam Jawa ke
dalam kategori sebagai berikut:[25]
1. Santri,
yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat
islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam Shalat, Zakat, Puasa, dan
meninggalkan segala keharaman, tidak makan babi, tidak membuat sesajen, dan
sebagainya.
2. Abangan,
yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namun, kurang memegang teguh
syariat Islam. Mereka yang tergolong kategori ini tidak shalat, puasa,
dansebagainya. Masih mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen,
gerebegan dan lainnya.
3. Priyayi,
yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru atau
bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri
maupun abangan, terlepas dari sikap dan cara keberagamaan mereka.
C. Kebiasaan Orang
Jawa
Orang Jawa memiliki banyak pola
perilaku yang khas dari masyarakat yang lain. Ada banyak sekali kebiasaan orang
Jawa yang lebih menekankan pada unsur kesopanan. Hal ini dapat dilihat dari
tingkatan bahasanya dan tutur kata orang Jawa.
Masyarakat Jawa dituntut untuk
lebih dan selalu menunjukkan sikap
hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat, kedudukan dan status
sosialnya. Adapun kebiasaan orang Jawa dalam bersikap dihadapan orang yang lebih
tua yaitu: pertama, dalam berbicara kepada orang yang lebih tua kita tidak
boleh membelakangi atau menatap mata mereka ketika berbicara. Selain itu, kita
harus menggunakan kata-kata dan bahasa yang sopan juga tidak boleh membantah
atau memutus pembicaraan. Kedua, apabila orang yang lebih muda akan menerima
atau memberikan sesuatu kepada orang tua, harus menggunakan kedua tangannya. Ketiga,
dalam berjabat tangan, orang yang lebih mudalah yang mengajak bersalaman
terlebih dahulu. Keempat, apabila orang yang lebih muda berjalan di depan orang
yang lebih tua harus membungkukkan badan. Kelima, apabila ada orang tua yang
berdiri karena tidak kedapatan tempat duduk, sedangkan orang yang lebih muda
sedang duduk hendaklah mempersilakan yang lebih tua untuk duduk.
Ada juga kebiasaan orang Jawa
ketika sedang makan adalah tidak bercakap terlalu banyak, tidak mengunyah
sambil menimbulkan suara, tidak menyisakan makanan dan tidak membiarkan makanan
tercecer. Bagi orang Jawa tak ada yang namanya angka sial. Namun, karena adanya
pengaruh barat, ada yang mempercayai bahwa angka tersebut sial. Banyak juga
orang Jawa yang mempercayai hari-hari tertentu sebagai hari keramat seperti
Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon, serta malam satu Suro. [26]
Mayarakat adat Jawa sangat
memperhatikan adanya mitos dan kepercayaan yang menjadi keyakinan dalam
kehidupan. Masyarakat Jawa pada umumnya masih memegang kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan oleh leluhurnya.[27]
Adapun menurut kebiasaan orang
Jawa, ketika seseorang memiliki sesuatu yang baru misalnya mobil, rumah,
maupunyang lain harus melakukan selamatan atau bancakan terlebih dahulu.
Apabila tidak dilakukan dipercaya orang yang mempunyainya akan mendapatkan
bencana atau cobaan.[28]
Selain itu, masih banyak dijumpai
adat atau kebiasaan-kebiasaan untuk tidak melaksanakan nikah pada bulan
Muharram, karena pada bulan itu diyakini oleh orang Jawa sebagai bulan yang
tidak baik. Adat seperti itu sudah ada semenjak orang-orang terdahulu. Dan
bilamana kepercayaan yanng sudah mentradisi itu dilanggar maka akan menanggung
akibat balaknya yang dilakukan sendiri.[29]
[1] Suwardi
Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,Cakrawala,2010, hlm 42
[2] Ibid, hlm.2
[3] Yana MH.,
Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, Yogyakarta, Bintang Cermelang, 2012,
hlm 148
[4] Ibid, hlm
146
[5] Suwardi
Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,Cakrawala,2010, hlm.2
[6]M.Bambang
Pranowo ,Orang Jawa jadi Teroris, Pustaka Alvabet,2011, hlm 211.
[7] Yana MH.,
Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, Yogyakarta, Bintang Cermelang, 2012,
hlm 148
[8] Ibid, hlm
146
[9]Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa: Menggali
Butir-Butir Kearifan Lokal, Warta Pustaka, 2006, hlm. 365.
[10] Abdullah Ciptoprawiro.
Filsafat Jawa, Balai Pustaka, 1986, hlm 31
[11] m.bambang
pranowo ,Orang Jawa jadi Teroris, pustaka alvabet,2011, hlm 211
[12] Suwardi
Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,Cakrawala,2010, hlm 46
[13] Abdul
Syukur, Studi Budaya Indonesia, Pustaka Setia, 2013, hlm 213
[14] Ibid, hlm
213
[15] Ibid, hlm
221
[16] Yana
MH., Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, Bintang Cermelang, 2012, hlm 149
[17] Ibid,
hlm 115
[18] Suwardi
Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,Cakrawala,2010, hlm 46
[19]ibid, hlm
1
[20] Janmo
Dumadi, Mikul Dhuwur Mendhem Jero:Menyelami Falsafah Kosmologi Jawa. 2011 Pura
Pustaka, hlm 31
[21]
Mulyana, “Spiritualisme Jawa:Meraba Dimensi dan Pergulatan Religiusitas Orang
Jawa”, Kejawen Jurnal Kebudayaan Jawa Vol.I No.02, Agustus, 2006, hlm 6
[22]
Mangunwijaya, YB, Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi Filsafatnya
Beserta Contoh-contoh Praktis, Gramedia Pustaka Utama, 1988, hlm 13
[23] Mulyana,
“Spiritualisme Jawa:Meraba Dimensi dan Pergulatan Religiusitas Orang Jawa”,
Kejawen Jurnal Kebudayaan Jawa Vol.I No.02, Agustus, 2006, hlm 6
[24] Suwardi
Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,Cakrawala,2010, hlm 62
[25] Yana
MH., Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, Bintang Cermelang, 2012, hlm 116
[26] Yana
MH., Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, Bintang Cermelang, 2012, hlm 185
[27] ibid,
hlm 186
[28] Ibid,
hlm 186
[29] Yana
MH., Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, Bintang Cermelang, 2012, hlm 186